BUMI SENENTANG
Kabupaten
Sintang merupakan kabupaten terbesar kedua di Provinsi Kalimantan Barat setelah
Kabupaten Ketapang. Luas total kabupaten ini sekitar 32.279 km² dengan
jumlah penduduk kota Sintang sebesar ± 500.000 jiwa dengan etnis mayoritas suku
Dayak (Dayak Iban, Sebaruk, Sontas, Kenyah dan Punan) serta suku Melayu.
Suku Melayu
yang tinggal banyak tinggal di pesisir dan tepi sungai (Kapuas dan Melawi)
adalah keturunan masyarakat kesultanan Sintang Islam. Sedangkan masyarakat Suku
Dayak sejak dulu tinggal di daerah pedalaman dan hutan Sintang. Kehidupan
mereka tergantung pada kemurahan alam di hutan.
Masyarakat
Dayak banyak menganut kepercayaan animisme dan kemudian sebagian beralih ke
Kristen sejak masuknya misionaris dan zending ke pedalaman. Meski berada pada
kubu yang berbeda, kedua suku tersebut dapat hidup berdampingan dengan damai.
Pemerintahan
Landschop ini berakhir pada tahun 1942 dan kemudian diambil alih oleh Jepang
sebagai konsekuensi kekalahan Belanda oleh Jepang di Perang Dunia II. Setelah
berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia, pemerintahan Belanda yang disebut
Afdeling Sintang diganti dengan Kabupaten Sintang sesuai dengan UU No. 3 tahun
1953, UU No. 25 tahun 1956 dan UU No. 4 tahun 1956. Sejak itulah Kabupaten
Sintang terus berbenah untuk memajukan daerahnya hingga saat ini.
Aji Melayu,
Nenek Moyang Raja-raja Sintang
Sintang
merupakan eks sebuah kerajaan Islam dengan sebuah Istana Al Mukaramah yang
terletak di tepi Sungai Kapuas. Istana ini dibangun pada tahun 1839 dan sampai
sekarang masih kokoh berdiri dan kerap dijadikan obyek wisata. Kerajaan
Sintang adalah Kerajaan Hindu kemudian yang beralih menjadi Kerajaan Islam. Penguasa
Kerajaan Sintang disebut Panembahan Sintang. Tokoh utama dibalik berdirinya
Kesultanan Sintang adalah Aji Melayu. Pada abad ke-4 Masehi ia pergi daerah
Kujau, TanahBalang di Semenanjung Malaka, yang merupakan pusat kerajaan Hindu
pada masa itu.
Dari
Kujau lalu ia pindah ke Desa Tabelian Nanga, Sepauk sampai menikahi seorang wanita
bernama Putung Kempat dan dikaruniai anak yang bernama Dayang Lengkong.
Kepulangan
Aji Melayu dari perantauan ternyata membawa ajaran Hindu ke daerah kelahirannya
ini. Sejak saat itulah berdiri kerajaan Hindu di Sepauk. Bukti sejarah
berdirinya kerajaan Hindu terlihat dari benda peninggalan sejarah berupa patung
yang terbuat dari perunggu berbentuk Dewa bertangan empat yang diyakini sebagai
Siwa (Dewa agama Hindu) di Desa Temian Empakan, Kecamatan Sepauk.
Pada abad
ke-XIII, Raja Sintang saat itu, Demang Irawan memindahkan pusat kesultanan dari
Sepauk ke Senatang (Sintang). Ia memilih lokasi di persimpangan antara Sungai
Melawi dan Sungai Kapuas. Kekuasaannya pada masa itu mencakup Sepauk dan
Tempunak.
Beralih ke
Islam
Raja Abang
Tembilang atau Abang Pencin yang bergelar Pangeran Agung merupakan penguasa
paling akhir Kerajaan Sintang Hindu karena Ia kemudian menganut Islam. Setelah
itu maka rakyat di kerajaan Sintang yang sebelumnya menganut agama Hindu dan
Animisme berduyun -duyun memeluk agama Islam.
Sejak itu
dimulailah babak baru kesultanan Sintang yang Islam. Setelah Pangeran Agung
wafat, putranya yang bernama Pangeran Tunggal dinobatkan sebagai Raja di
Kerajaan Sintang yang ke XVIII.
sumber : klik disini
Kabupaten
Sintang merupakan kabupaten terbesar kedua di Provinsi Kalimantan
Barat setelah Kabupaten Ketapang. Luas total kabupaten ini sekitar
32.279 km² dengan jumlah penduduk kota Sintang sebesar ± 500.000 jiwa dengan etnis mayoritas suku Dayak (Dayak Iban, Sebaruk, Sontas, Kenyah dan Punan) serta suku Melayu.
Suku
Melayu yang tinggal banyak tinggal di pesisir dan tepi sungai (Kapuas
dan Melawi) adalah keturunan masyarakat kesultanan Sintang Islam.
Sedangkan masyarakat Suku Dayak sejak dulu tinggal di daerah pedalaman
dan hutan Sintang. Kehidupan mereka tergantung pada kemurahan alam di
hutan.
Masyarakat
Dayak banyak menganut kepercayaan animisme dan kemudian sebagian
beralih ke Kristen sejak masuknya misionaris dan zending ke pedalaman.
Meski berada pada kubu yang berbeda, kedua suku tersebut dapat hidup
berdampingan dengan damai.
Topografi
daerah Sintang dominan berupa perbukitan sehingga mengakibatkan sumber
mata pencaharian utama penduduknya sebagian besar sebagai petani
sawit dan karet. Pada 1936 daerah Sintang dijadikan daerah landschop di
bawah naungan pemerintahan Gouvernement pada masa pemerintahan Belanda.
Pemerintahan
Landschop ini berakhir pada tahun 1942 dan kemudian diambil alih oleh
Jepang sebagai konsekuensi kekalahan Belanda oleh Jepang di Perang
Dunia II. Setelah berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia,
pemerintahan Belanda yang disebut Afdeling Sintang diganti dengan
Kabupaten Sintang sesuai dengan UU No. 3 tahun 1953, UU No. 25 tahun
1956 dan UU No. 4 tahun 1956. Sejak itulah Kabupaten Sintang terus
berbenah untuk memajukan daerahnya hingga saat ini.
Aji Melayu, Nenek Moyang Raja-raja Sintang
Sintang
merupakan eks sebuah kerajaan Islam dengan sebuah Istana Al Mukaramah
yang terletak di tepi Sungai Kapuas. Istana ini dibangun pada tahun
1839 dan sampai sekarang masih kokoh berdiri dan kerap dijadikan obyek
wisata. Kerajaan Sintang adalah Kerajaan Hindu kemudian yang beralih
menjadi Kerajaan Islam.
Penguasa
Kerajaan Sintang disebut Panembahan Sintang. Tokoh utama dibalik
berdirinya Kesultanan Sintang adalah Aji Melayu. Pada abad ke-4 Masehi
ia pergi daerah Kujau, Tanah Balang di Semenanjung Malaka, yang
merupakan pusat kerajaan Hindu pada masa itu.
Dari
Kujau lalu ia pindah ke Desa Tabelian Nanga, Sepauk sampai menikahi
seorang wanita bernama Putung Kempat dan dikaruniai anak yang bernama
Dayang Lengkong.
Kepulangan
Aji Melayu dari perantauan ternyata membawa ajaran Hindu ke daerah
kelahirannya ini. Sejak saat itulah berdiri kerajaan Hindu di Sepauk.
Bukti sejarah berdirinya kerajaan Hindu terlihat dari benda peninggalan
sejarah berupa patung yang terbuat dari perunggu berbentuk Dewa
bertangan empat yang diyakini sebagai Siwa (Dewa agama Hindu) di Desa
Temian Empakan, Kecamatan Sepauk.
Pada
abad ke-XIII, Raja Sintang saat itu, Demang Irawan memindahkan pusat
kesultanan dari Sepauk ke Senatang (Sintang). Ia memilih lokasi di
persimpangan antara Sungai Melawi dan Sungai Kapuas. Kekuasaannya pada
masa itu mencakup Sepauk dan Tempunak.
Beralih ke Islam
Raja
Abang Tembilang atau Abang Pencin yang bergelar Pangeran Agung
merupakan penguasa paling akhir Kerajaan Sintang Hindu karena Ia
kemudian menganut Islam. Setelah itu maka rakyat di kerajaan Sintang
yang sebelumnya menganut agama Hindu dan Animisme berduyun -duyun
memeluk agama Islam.
Sejak
itu dimulailah babak baru kesultanan Sintang yang Islam. Setelah
Pangeran Agung wafat, putranya yang bernama Pangeran Tunggal dinobatkan
sebagai Raja di Kerajaan Sintang yang ke XVIII.
- See more at: http://benuadayak.blogspot.com/2011/02/sejarah-kota-sintang-senentang.html#sthash.EESpOzTl.dpuf
0 komentar:
Posting Komentar